Lontar adalah sebutan khas Bali untuk sebuah teks yang ditulis tangan pada helai-helai daun lontar (palm-leaf). Maknanya pun sangat khas; dalam arti bahwa bila kata atau istilah itu disebut, bayangan orang langsung tertuju pada sesuatu benda dalam wujud tertentu, yang bagi orang Bali pada umumnya, masih sangat dikeramatkan sampai saat ini.
Berbeda halnya dengan daerah lain, seperti di Jawa, Sunda, Madura, atau Sulawesi (di daerah ini disebut dengan Lontaraq) Lontar dengan segala isinya merupakan salah satu warisan kekayaan rohani orang Bali yang memiliki arti yang sangat penting dan strategis.
Di dalam Naskah Lontar terekam hampir seluruh ilmu, pengetahuan, dan pengalaman hidup yang pernah dimiliki orang Bali di masa lampau. Dari ilmu tentang bagaimana cara seseorang memahami kehidupan, sampai cara memahami kematian. Dari cara meramu obat-obatan, sampai cara menata alam, membangun keseimbangan mikrokosmos dan mikrokosmos. Dari hal-hal yang sangat masuk akal sampai pada hal-hal di luar jangkauan pikiran orang biasa.
Dari hal-hal yang sangat praktis sampai pada yang sangat filosofis spekulatif. Semua ilmu itu agaknya masih tetap relevan dan berharga untuk diketahui, dipelajari di tengah dunia yang masih gonjang-ganjing ini.
Sebagai wujud warisan budaya, lontar jelas-jelas menunjukkan adanya tradisi intelektual (keberaksaraan, keterpelajaran) yang dimiliki masyarakat Bali sejak zaman dulu. Tradisi intelektual bagi sebuah masyarakat merupakan sesuatu yang sangat penting dan berharga.
Dengan tradisi tersebut peradaban manusia akan dapat dibangun lebih baik dan lebih maju. Oleh sebab itu lontar dengan berbagai tradisinya yang masih hidup di Bali (dari cara memroses daun lontar sebagai bahan tulis, sampai kepada mengapresiasi dan mengupas isi lontar dalam tradisi mabasan), perlu terus dilestarikan, dipelihara, dan bahkan dikembangkan sesuai dengan tuntutan kemajuan iptek dan zaman. Begitu kira-kira.
Lontar-lontar di Bali, secara kualitatif maupun kuantitatif memiliki nilai yang sangat berharga. Secara kuantitatif jumlah lontar yang ada di masyarakat diperkirakan mencapai sekitar 50 ribu cakep lontar. Jumlah tersebut belum termasuk yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan lontar, seperti Gedong Kirtya, Fakultas Sastra Unud, Balai Penelitian Bahasa), Universitas Hindu Indonesia), Universitas Dwijendra, Denpasar (50 cakep), dan Kantor Dokumentasi Budaya Bali).
Secara kualitatif lontar-lontar Bali banyak mengandung nilai-nilai yang sangat fungsional dalam masyarakat Bali, dan yang banyak juga manfaatnya bila nilai-nilai itu disumbangkan untuk kepentingan masyarakat bangsa Indonesia maupun dunia.
Berdasarkan atas klasifikasi isinya, lontar-lontar tersebut mengandung berbagai aspek.
Th. Pigeaud (1967) misalnya membagi kepustakaan Bali menjadi empat bagian besar, yaitu:
1) Religion and Ethics,
2) History and Mythology,
3) Belles-Lettres,
4) Science,
Arts, Humanities, Law, Folklore, Customs, and Miscellanea.
Jauh sebelum itu Friederich (1849) dan R. van Eck (1875) juga telah membagi isi dan bahasa dalam kepustakaan (lontar) Bali tersebut. Pembagian kepustakaan lontar Bali kemudian lebih disistematiskan lagi saat didirikannya Gedong Kirtya (1928), menjadi:
(1) Weda (weda, mantra, kalpasastra); (2) Agama (palakerta, sasana, niti); (3) Wariga (wariga, tutur, kanda, usada); (4) Itihasa (parwa, kakawin, kidung, geguritan); (5) Babad (Pamancangah, usana, uwug), dan (6) Tantri (tantri, satua).
Persoalan atau permasalahan yang dihadapi oleh lontar dewasa ini adalah bahwa lontar-lontar tersebut kaya akan nilai-nilai yang sangat berharga, tetapi tidak tertangani dengan baik. Banyak lontar yang rusak karena tidak disimpan dengan baik.
Koleksi lontar yang ada di perpustakaan lontar Gedong Kirtya misalnya, kurang didukung oleh sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) yang memadai dan berkualitas, sesuai dengan tuntutan zaman. Hal itu menyebabkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga kurang memadai.
Selain itu lontar-lontar masih disimpan dengan cara-cara tradisional, yang mengakibatkan mudahnya terjadi pelapukan dan rusaknya lontar; ruang penyimpanan yang tidak memenuhi syarat; daftar lontar yang masih kurang sesuai dengan koleksi lontar; belum adanya katalog yang sesuai dengan
harapan; dan sebagainya.
Kondisi dan permasalahan tersebut adalah persoalan umum yang dihadapi oleh lontar-lontar yang ada di Bali, bukan hanya koleksi lontar di Gedong Kirtya. Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, kekhawatiran akan punahnya sebuah tradisi besar yang sangat bernilai, yang pernah dimiliki Bali, akan hilang begitu saja.
Hal lain yang ikut menyebabkan punahnya lontar adalah upaya jual-beli lontar yang dilakukan masyarakat, sehingga banyak lontar yang dibawa ke luar daerah atau ke luar negeri, sebelum sempat diidentifikasi ataupun dibuat copy-nya. Apa boleh buat, karena orang Bali sendiri kini mulai merasa asing dengan lontar.
Posting Komentar